Jumat, 21 Oktober 2016

Paradoks Media Sosial

Beberapa tahun terakhir, jaringan online (internet dan media sosial) telah berubah menjadi saluran terkemuka terjadinya pasar digital. Klien (konsumen) dan perusahaan dapat terhubung dan melakukan transaksi secara online, tidak lagi harus bertatap muka, atau bertemu di kantor penjualan. Di berbagai beranda media sosial, produk-produk berseliweran dipromosikan. Konsumen (pembeli) tidak susah lagi untuk mencari produk yang sedang diburu.

Lihat saja iklan di Facebook. Banyak sekali yang tampil di beranda facebook saat anda tengah online atau berselancar di facebook. Mereka menggunakan jasa iklan yang disiapkan pihak facebook untuk mempromosikan produk mereka. Namanya facebook ads.

Paradoks Media Sosial
Photo by: digitalheroesonline

Perusahaan-perusahaan itu tahu betul bahwa keuntungan dari pemasaran produk mereka sangat bergantung dari kemasan tampilan (display) dan cara mereka menggaet (baca: mengagitasi) para pembeli di internet. Mereka juga sangat menjaga sejauh mana hubungan mereka dengan pasar yang pertemuannya di internet itu tidak rusak alias putus-nyambung. Mereka menciptakan dan memegang kendali atas kebutuhan klien mereka yang berawal dari tempat pertemuan sederhana; media sosial.

Ini mungkin cara paling sederhana, mudah, tidak ribet dan bertele-tele dan murah dalam perkembangan pasar masa kini. Setuju atau tidak, diterima atau ditolak, yang jelas inilah salah satu bentuk nyata era ekonomi digital sebenarnya.

Di Indonesia, kemunculan banyak perusahaan start up yang dirintis oleh kalangan muda juga menunjukkan bahwa peluang bisnis online sangat menjanjikan masa depan ekonomi yang mandiri. Mereka betul-betul memanfaatkan kecanggihan internet, media sosial sebagai media komunikasi sosial untuk meraup keuntungan yang besar sambil tetap membangun rasa saling percaya dengan pihak pembeli (konsumen).

Jika dihitung jumlah kalangan muda yang telah sukses karena hidup dari kegilaan terhadap bisnis berbasis internet, jumlahnya sudah sangat banyak. Karena ketekunan mereka sambil melihat peluang yang ada di depan mata, mereka benar-benar berupaya sekuat tenaga untuk membangun kehidupan ekonomi mereka, mewujudkan impian muda mereka: menjadi orang sukses.

Kita? Bagaimana?

Jika dibandingkan dengan refleksi abstrak tak penting di atas, tentu kita sudah jauh tertinggal. Bahkan, lebih banyak kontras dengan situasi di atas, bukan? Mereka memanfaatkan keuntungan dari perselancaran mereka di internet dan media sosial. Sementara, kita, masih sering menggunakan media sosial untuk meluapkan caci maki kita terhadap pihak lain; menyindir, menjelek-jelekkan orang lain, menyerang privasi pihak lain secara bertubi-tubi.

Sangat berbeda jauh dengan situasi dimana saat banyak kalangan muda telah sukses meraup keuntungan dari media sosial, blogging dan internet marketing, di lingkungan kita masih terdapat sejumlah kasus adu fisik dan adu mulut yang berawal dari ketersinggungan terhadap postingan atau tulisan di media sosial. Gara-gara status facebook, paling sering terjadi.
Molas Hombel Paradoks Media Sosial
Photo by: @sharfinaadani

Berbagai bentuk kasus tersebut semakin memperlebar jarak kemajuan mindset dengan generasi muda yang benar-benar menangkap peluang sukses dari internet atau media sosial.

Untuk menemukan solusi terkait hal ini, diperlukan keterlibatan aktif berbagai pihak, mulai dari keluarga (baca orang tua), sekolah, lingkungan kerja, lembaga agama, dan pemerintah, agar terus turut membangun kesadaran kolektif para pengguna media sosial agar dapat menggunakannya secara lebih bijak, tidak untuk keperluan-keperluan yang bersifat hate speech (ujaran kebencian), fitnah, caci maki, pornoaksi, dan berbagai penyebaran konten negatif lainnya. Di sekolah, peran guru sangat lah penting untuk aksi tersebut.

Mari kita selamatkan generasi kita agar dapat menggunakan media sosial secara bijak dan tepat.