Jumat, 28 Oktober 2016

Mentradisikan Kebersihan Lingkungan

Kampanye kebersihan lingkungan adalah jenis kampanye yang bertujuan mengajak dan mempengaruhi sekolompok orang untuk bersama-sama menjaga kebersihan lingkungan atau sebuah wilayah. Kampanye kebersihan dilandasi oleh semangat mencintai dan merawat lingkungan di sebuah wilayah. Kampanye kebersihan tentu mudah dilakukan. Berbagai cara tersedia. Apalagi jika menggunakan teknologi. Tentu mudah. Cepat pula. Yang paling susah, khususnya di Manggarai adalah Mentradisikan Kebersihan Lingkungan. Begitu kah?
Mentradisikan Kebersihan Lingkungan
Image: Andimozza (Instagram)
Di suatu siang, di dalam angkot menuju tempat kerja, saya duduk di samping seorang penumpang. Lelaki. Tampan. Dia hendak ke sebuah kantor pemerintahan yang jaraknya kira-kira 100 meter dari tempat saya bekerja. Di tangannya dia memegang gulungan sebuah majalah. Cover yang sedikit terang membuatku tahu itu Majalah Tempo.

“Itu Tempo kah, Kae?” Saya tak sungkan lagi bertanya. PeDe (baca: percaya diri)
“Iya e. Edisi seminggu lalu. Sudah lama” jawabnya.
“Saya bisa pinjam, Kae? Sudah lama tidak baca Tempo.” Saya bertanya lagi.

Pemuda tampan itu tak langsung menjawab. Dia menatapku sejenak, sambil tersenyum. Sepintas, saya ragu dia akan meminjamkan majalah yang digenggamnya itu. Tetapi, yang pasti saya sudah menyampaikan permintaan dengan jujur. Yang saya tahu, untuk belajar, kita harus berani untuk tidak malu meminta yang perlu dipelajari. Malu? Tidak juga. Saya hanya ingin membaca.

“Baik sudah. Tidak apa-apa. Kebetulan, saya sudah baca edisi ini. Suka Tempo kah?” lelaki itu menyahut.
Aeh, Ka’e, itu sudah e. Mau browsing di hp juga tau saja jaringan lemot begini”
“Baik sudah, Enu. Tidak apa-apa” Lelaki itu menjawab sambil memberikan gulungan majalah tempo yang tadi digenggamnya.

Ok. Fix. Saya dapatkan Majalah Tempo pagi itu. Saya senang. Selain karena daftar bacaan saya bertambah, saya juga bisa punya tambahan referensi untuk menulis. Saya percaya, giat menulis tanpa giat membaca adalah nihil. Omong kosong. Itu kata guru saya waktu Sekolah Dasar.

Majalah Tempo yang saya terima pagi itu adalah Majalah Tempo edisi 1-7 Agustus 2016. Covernya bertuliskan “Setelah Dia Kembali,” dengan gambar ilustrasi seorang wanita yang baru saja diangkut Presiden Joko Widodo masuk kabinet saat reshuffle kemarin; Sri Mulyani Indrawati. Melihat covernya, saya mulai menerka; jangan-jangan edisi kali ini Tempo akan membahas secara detail tentang Sri Mulyani Indrawati. Sudahlah. Saya tak harus membukanya di dalam angkot, kan?

Di tempat kerja, saya mulai membaca majalah itu. Gulungannya dibiarkan melebar, bentuknya kembali normal. Perlahan, helai demi helai dalam majalah itu dibuka. Karena saya tidak suka membaca artikel politik, maka halaman berita politik pun dilewatkan. Termasuk artikel pembuka majalah itu yang membentangkan kisah kembalinya Sri Mulyani Indrawati ke kabinet.

Mata saya tertanam di 50 majalah itu. Ada tulisan “Panglipuran, Keasrian dan Awig-Awig” di sana. Tulisan itu menjadi pembuka artikel panjang tentan desa adat di Kabupaten Bangli, Bali yang dikenal sebagai salah satu desa terbersih di dunia. Tempo menulis, “Desa yang berada di ketinggian 700 meter di atas permukaan laut itu memiliki sekitar 200 rumah tradisional yang tertata begitu rapi. Halamannya bersih tanpa sebutir sampah pun. Aneka jenis tanaman hias, seperti kembang sepatu, mawar, bugenvil, dan kamboja, menghiasi pekarangan. Udaranya segar. Tak ada kendaraan bermotor yang berlalu-lalang di desa yang dihuni masyarakat Bali Aga itu”

Oh…ini tentang kebersihan desa. Tentang kecintaan terhadap kebersihan lingkungan. Desa. Bukan kota. Terkenal karena bersih. Bukan karena membunuh, karena perang suku, karena saling hujat, karena pembuangan bayi, atau karena narkoba. Mereka terkenal karena bersih. Sekali lagi: karena bersih. Desa itu bersih, jadi indah, orang senang berkunjung dan tinggal di sana. Hebat. Rasa-rasanya, kalau berangkat dari bicara tentang desa, di tanah ini, Manggarai, Flores, juga banyak desanya. Sangat banyak.

Pemandangan alam di setiap desa itu indah adanya. Udaranya segar nian. Setidaknya, sudah banyak yang mengakui itu. Sejenak, saya termenung. Dalam diam yang pendek, saya tiba-tiba merindukan satu, bahkan dua atau lebih desa di Manggarai juga dikabarkan seperti Panglipuran di Bali itu. Terkenal karena kebersihan dan keasrian serta budaya masyarakatnya. Bisa?

Ah, begini. Bagaimana kalau Pemilihan Kepala Desa yang kini sedang dikabarkan semarak di berbagai desa di Manggarai itu dijadikan momentum terjadinya praktik kebersihan lingkungan di desa-desa di Manggarai. Apalah artinya kemeriahan, pesta dan kebisingan politik di masing-masing desa itu jika ujungnya desa itu terkenal karena praktik korupsi beras miskin (raskin)? Atau terkenal karena perselingkuhan, atau karena krisis air? Malu? Saya malu. Nama Manggarai pasti ikut bau.

Desa Panglipuran itu terkenal karena hal yang sederhana dan mudah. Sekali lagi, begitu mudah mereka terkenal. Sangat mudah. Padahal, mereka bukan lah sebuah negara. Bukan pula kota metropolitan. Mereka terkenal bukan karena gedung pencakar langit. Mereka hanya punya satu: desa yang bersih. Dari kebersihan itulah desa mereka mendunia, terkenal, nyaman, aman dan jadi objek wisata pelancong dari berbagai belahan dunia.

Di sana, mental merawat kebersihan adalah mental bersama. Setiap individu mentradisikan kebersihan lingkungan. Penduduknya 237 keluarga atau sekitar 1.000 jiwa. Tetapi, pengunjungnya bisa sejuta saban harinya.
“Got di depan rumah-rumah penduduk juga sangat bersih. Limbah rumah tangga seperti air bekas cucian, busa sabun, dan sampo bekas mandi tidak mengalir ke saluran got, tetapi semuanya masuk septic tank yang berada di belakang rumah. Got di desa Panglipuran hanya dialiri air hujan” tulis Majalah Tempo.

Molas Hombel Mentradisikan Kebersihan Lingkungan
Image: Gusari Manuaba

Di desa itu mereka juga menanam berbagai tanaman hias. Jadi, selain bersih, desa itu juga indah karena banyaknya tanaman hias yang ditanam untuk memanjakan mata warga setempat, apalagi mata pengunjung desa itu.

Warga setempat memiliki kedisiplinan yang tinggi dalam menjaga dan merawat kebersihan lingkungan. Kedisiplinan itu dilegalkan. Tidak hanya ditradisikan. Mereka membuat undang-undang desa setebal 28 halaman yang isinya mewajibkan masyarakat setempat untuk menjaga kebersihan.

Jadi, selain tradisi menjaga kebersihan, juga ada aturan desa yang mewajibkan masyarakat untuk menjaga kebersihan desa. Itulah awig-awig di desa itu. Awig-awig adalah tradisi lisan leluhur Panglipuran. Semacam aturan adat. Pada tahun 1989, tulis Tempo, awig-awig tersebut didokumentasikan menjadi Kitab Undang-Undang Desa Adat Panglipuran. Panglipuran menjadi desa adat sejak 1993.

Mari melihat Manggarai. Di setiap desa, ada lembaga adat. Buktinya, ada Mbaru Gendang, ada Tua Golo dan Tua Teno di sana. Falsafah Gendang One Lingko Pe’ang di hampir semua desa. Sulit sekali dibantah bahwa lembaga adat dan lembaga pemerintahan desa berjalan terpisah pada kesehariannya. Secara struktur, ya, terpisah. Tetapi di luar struktur, keduanya berjalan berdampingan. Lalu, apakah kedua lembaga super kuat di sebuah desa itu tidak bisa berjalan berdampingan untuk kampanye kebersihan lingkungan? Catat: di Manggarai, persoalan di lembaga pemerintahan di tingkat desa juga sering diselesaikan di tingkat lembaga adat.

Persoalan kebersihan, mulai dari perencanaan, strategi dan pelaksanaan, juga bisa dilakukan dengan kedua lembaga itu bergandengan tangan. Dengan mentradisikan kebersihan lingkungan, kita mentradisikan keindahan. Selebihnya, kita sehat, aman dan nyaman dalam kebersatuan kita dengan alam yang dititipkan sang pencipta ini. Semoga.