Sabtu, 05 November 2016

Radiogram untuk Tuhan

Jauh di Amerika sana, sedang terjadi keseruan #PilpresAmerika antara Donald Trump dan Hillary Clinton. Perdebatan dan kampanye keduanya selama ini sudah seperti perang terbuka: saling menyerang secara terbuka di medan terbuka dengan senjata pemungkas masing-masing. Kata-katanya, aduh mama sayang e, mulai dari tuduhan sampai hujatan dilontarkan di muka umum. Saya senang, karena mereka blak-blakan tentang kepentingan mereka.

Dengan begitu, rakyat Amerika bisa lebih tahu watak, karakter, kemampuan dan kepentingan dua kandidat yang tampil itu. Tetapi, di Amerika, itu sudah biasa. Sepedis apapun kata-kata yang diungkapkan, mereka menerimanya sebagai bagian dari ujaran politik mendayung dukungan dan simpati.

Di Indonesia, perdebatan politik seterbuka Amerika itu tidak sering dijumpai saat pemilu. Ada saja alasan untuk tidak terjadi perdebatan seperti itu. Bisa jadi karena kandidat-kandidat presiden di Indonesia pintar membungkus kecaman, ujaran kebencian, tuduhan, fitnah dengan kata-kata manis(?) Atau mungkin karena aturan kampanye di Indonesia mewajibkan kita untuk sopan meski berbohong? Atau, oh iya, kandidat-kandidat presiden di Indonesia adalah komunikator politik yang hebat menyematkan kepentingan politiknya di tiap jengkal kalimat dan kata yang diucapkan? Membungkus kemunafikan dengan kata-kata manis?

Silahkan menambah daftar pertanyaan, sekaligus jawabannya jika ada kesempatan membandingkan kandidat Pilpres di Amerika dan di Indoensia. Hanya saja, yang jelas, di dunia politik Indonesia, para politisi-nya sangat hebat dalam menyembunyikan misteri politiknya lewat kata-kata bijak, kata-kata motivatif dan inspiratif. Susah sekali bagi politisi di Tanah Air untuk mengatakan fakta sebenarnya, atau yang orang bilang “bicara apa adanya.”
Radiogram untuk Tuhan
Photo: QSL. net

Tentang keseruan tadi, di Amerika konsentrasi rakyatnya tertuju pada keseruan Pilpres. Sementara, di Indonesia, konsentrasi rakyatnya masih tertuju pada keseruan tema A G A M A. Ya. Lihat saja di beranda media sosial orang-orang itu. Tema utamanya hanya berkaitan dengan urusan Agama, Tuhan dan Kitab Suci. Mulai dari caci maki hinga puji-pujian, tumpah ruah di beranda media sosial.

Di kota kecil ini, keseruan itu juga bergulir di banyak ruang diskusi publik. Baik yang digelar secara formal maupun ruang diskusi informal: santai, tidak terencana, tidak sengaja terjadi. Rata-rata, berangkat dari kecemasan, kekhawatiran, kekalutan yang dalam. Media sosial pun jadi media utama pelampiasan berbagai kecemasan yang berujung caci maki itu. Apalagi di group-group diskusi online.

Apakah Tuhan mendengarkan diskusi-diskusi itu? Kata iklan, may be yes, may be no! Feeling saya mengatakan Tuhan tidak mau mendengar. Tetapi, sudahlah. Yang menganggap diskusi-diskusi seperti itu berguna, tentu akan terus diminati, diikuti dan dilakukan. Kami, beberapa teman dan saya, yang tidak doyan dengan tema diskusi itu akan tetap menghormati ketertarikan tema yang cukup membosankan itu.

Tetapi, pagi kemarin, ada ide yang tiba- tiba muncul, cling di kepala. Tentang radiogram untuk Tuhan. Bagaimana jika semua bahan diskusi seru tentang agamamu dan agamaku itu dituliskan pada sebuah kertas putih, lalu dikirimkan ke radio lokal terdekat, dijadikan Radiogram untuk Tuhan?

Dengan pengandaian begini: kalau menggunakan media sosial, facebook misalnya, kita bisa saja dianggap pengguna palsu. Lazimnya, dicap akun palsu. Atau, kalau pakai twitter, akan dianggap sebagai buzzer politik.

Agar jauh dari kecaman-kecaman tak berdasar itu nantinya, sebaiknya kita gunakan cara yang sederhana: Radiogram untuk Tuhan. Isi radiogramnya juga tak perlu terlalu panjang;

Dari: Molas Hombel, dan kawan-kawan
Untuk: Tuhan, di mana saja Kau berada
Isi:
Tuhan, agamaMU apa?
Jika kita seagama, haruskah Kau kubela?
Apakah Kau pernah menghakimi pemeluk agama yang tak seagama denganMU?
Terimakasih, Tuhan

Radiogram singkat ini bisa secara langsung dikirimkan ke Stasiun Radio terdekat untuk dibacakan. Adakah Tuhan akan mendengar?